Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kini menjadi sorotan publik. Alih-alih menjadi simbol pembaruan sistem hukum pidana, banyak pihak menilai RKUHAP justru membuka ruang penyalahgunaan wewenang dan mengancam kebebasan sipil warga negara.
Sebagai catatan, KUHAP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) yang mulai diberlakukan pada 1915. Meskipun telah beberapa kali diamendemen, substansinya tetap mencerminkan paradigma kolonial. Maka, pembaruan hukum acara pidana memang dibutuhkan—tetapi bukan yang melanggengkan represi dalam balutan reformasi hukum.
• Pembungkaman Aspirasi: Ancaman Bagi Demokrasi
Salah satu kritik utama terhadap pembahasan RKUHAP adalah prosesnya yang minim partisipasi dan cenderung menutup ruang aspirasi masyarakat. Dalam konteks demokrasi, ini bukan sekadar persoalan prosedural, tetapi sebuah ancaman terhadap legitimasi hukum itu sendiri.
Bentuk Pembungkaman yang Terjadi:
Ø Penolakan Terhadap Pasal-Pasal Represif
Pasal-pasal kontroversial seperti:
· Pasal 218 KUHP (larangan menghina Presiden atau Wakil Presiden),
· Pasal-pasal penyadapan dan penggeledahan tanpa izin pengadilan,
Telah menuai banyak penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi HAM.
Ø Aksi Mahasiswa dan Demonstrasi yang Dibungkam
Aksi damai menolak RKUHAP kerap dibubarkan paksa. Bahkan, sejumlah aktivis mengalami intimidasi dan penangkapan. Situasi ini mempersempit ruang demokrasi yang sehat.
Ø Minimnya Ruang Partisipasi Publik
Draf RKUHAP tidak dibuka secara luas untuk konsultasi publik. Aspirasi melalui kanal akademik dan dialog formal pun nyaris tidak diakomodasi secara substansial.
• Pasal-Pasal Bermasalah: Jalan Menuju Kriminalisasi Pendapat
Sejumlah pasal dalam RKUHAP dipandang berpotensi mengancam prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan supremasi hukum:
· Pasal 218 KUHP: Larangan menyerang kehormatan Presiden/Wakil Presiden dapat membuka ruang kriminalisasi terhadap kritik publik.
· Pasal 122 RKUHAP: Memberikan kewenangan perpanjangan masa penahanan tanpa pengawasan ketat pengadilan.
· Pasal 74 dan 76 RKUHAP: Mengatur penggeledahan dan penyitaan tanpa izin awal dari hakim, membuka peluang penyalahgunaan aparat.
Pasal-pasal tersebut, jika diterapkan secara sewenang-wenang, bisa merusak sistem peradilan pidana dan mencederai hak konstitusional warga negara.
Ø ”RKUHAP adalah pedoman keadilan di negeri ini. Jika disusun tanpa melibatkan rakyat dan melanggar HAM, maka keadilan hanya akan jadi milik segelintir orang.”
• Tolak RKUHAP: Suara Rakyat Harus Didengar
Pembaruan hukum pidana harus menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya alat penguasa. Kita butuh hukum yang:
Ø Modern,
Ø Transparan,
Ø Menghormati HAM,
Ø Serta berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
• Bergabung dalam Petisi REFORMASI RKUHAP
Jadilah bagian dari warga negara yang peduli terhadap masa depan hukum dan demokrasi Indonesia.
Isi petisinya di: [change.org/TolakRKUHAP](https://change.org/TolakRKUHAP)
#TolakRKUHAP
#ReformasiHukumBukanRepresi
#DemokrasiUntukSemua
#BEMFakultasIlmuKomputer
“Keadilan bukan hanya soal hukum yang tertulis, tapi tentang siapa yang dilibatkan dan siapa yang dilindungi.”
Artikel ini dibuat oleh :
Andrian Afandi & Silviana Agustin
Anggota PSDM, BEM Fakultas Ilmu Komputer Universitas Saintek Muhammadiyah