Dalam ranah pengetahuan, khususnya terkait dengan konteks wilayah, ada dua kawasan utama, yaitu Barat dan Timur. Negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, dan Amerika Serikat melambangkan dunia Barat. Beberapa dari negara-negara ini tertarik pada dunia Timur dan dikenal sebagai orientalis. Mereka mempelajari negara-negara Timur (termasuk Islam) dari sudut pandang kebaratan.
Di sisi lain, terdapat juga penduduk asli Timur yang termotivasi untuk mempelajari negara-negara Barat dari sudut pandang Timur, yang disebut oksidentalis. antara orientalis dan oksidentalis memiliki pandangan masing-masing dalam mengkaji bahan yang diteliti, sehingga variasi yang dihasilkan seringkali berbeda-beda.
Dalam menjalankan peran mereka, orientalis biasanya fokus pada beberapa kegiatan intelektual seperti: menyunting dan menerbitkan karya sastra warisan Islam, mengenali bentuk bahasa daerah di negara-negara Timur, mempelajari aspek sosial, ekonomi, dan psikologis yang berdampak pada perilaku masyarakat, mengeksplorasi berbagai sekte dan aliran kepercayaan yang terdapat dalam suatu negara, baik yang bersifat moderat maupun ekstrim, serta meneliti artefak-artefak sejarah di berbagai tempat (Marzuq dalam (Idri, 2011)).
Penelitian yang dilakukan oleh ahli orientalis mengenai kebudayaan Timur, khususnya Islam dan peradabannya, mencakup berbagai aspek seperti Alquran, hadis, sejarah Islam, hukum Islam, prinsip-prinsip hukum Islam, teologi, filsafat, bahasa, dan sastra (Supian, 2016). Satu topik yang menimbulkan kontroversi adalah penelitian tentang hadis. Didalam ini menjelaskan apa itu orientalisme, tokoh-tokoh orientalis, pendapat para orientalis tentang hadis dan sanggah para ulama terhadap orientalis.
Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah istilah dalam bahasa Prancis yang berasal dari kata “orienti” yang berarti Timur dan “isme” yang mengacu pada pemahaman, doktrin, idealisme, atau sikap. (Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, 2002) Mustolah Maufur menjelaskan bahwa istilah “Timur” berasal dari kata Latin “oriri” yang memiliki arti terbit, serta dalam bahasa Inggris menunjukkan “arah terbitnya matahari” (yang mengacu pada belahan bumi Timur) (Mustolah Maufur, 1995).
Dengan demikian, orientalisme merupakan suatu ideologi atau aliran yang berusaha menyelidiki isu-isu yang berhubungan dengan negara-negara Timur beserta lingkungannya (Joesoef Sou’yib, 1995). Sebaliknya, istilah Orien dalam bahasa Prancis dipadankan dengan Oksiden, yang secara harfiah berarti Barat dan secara geografis merujuk pada negara-negara di belahan Barat serta secara etnologis mengacu pada masyarakat di wilayah tersebut (Mannan Bukhari, 2006).
Dalam hubungannya dengan Orientalisme menurut Abdul Haq Edenvers, secara umum hal ini merujuk pada pengertian yang komprehensif yang berasal dari informasi asli mengenai bahasa, agama, budaya, geografi, sejarah, sastra, dan seni rakyat yang berasal dari Timur. (Mustulah Maufur, 1995). Sementara itu, Edward Said menjelaskan bahwa Orientalisme merupakan cara memahami masyarakat Timur berdasarkan posisi khususnya dalam sejarah Eropa Barat, dengan pendekatan yang didasarkan pada ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat secara keseluruhan; serta metode Barat dalam menguasai, membangun kembali, dan mengatur Timur (Edward E, 2001).
Dalam pengertian yang lebih terbatas, ini merupakan aktivitas penelitian oleh para Orientalis dari Barat terkait dengan agama-agama di Timur, terutama Islam. Keterampilan yang terkait dengan wilayah Timur; pendekatan yang digunakan untuk mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan Timur; serta sikap ideologis terhadap tantangan yang ada di Timur (Komite Redaksi Ensiklopedia Islam, 2002).
Istilah “oriental” merujuk pada sebutan untuk individu yang memiliki keahlian di berbagai bidang. Hal-hal yang berhubungan dengan “Timur” sering disingkat dengan sebutan ahli oriental (Joesof Sou’yib, 1995). Selain itu, orientalis juga dipahami sebagai kelompok para ahli dari dunia Barat yang mempelajari bahasa dan sastra dari kawasan Timur serta secara mendetail meneliti aspek-aspek agama, sejarah, tradisi, dan pengetahuan yang terdapat di daerah tersebut (A. Hanafi, 1981). Dikatakan bahwa “beberapa ahli sejarah mengemukakan pandangan mereka mengenai kemunculan orientalis dari perspektif masing-masing. Beberapa peneliti berpendapat bahwa orientalis mulai ada sejak abad ke-12 Masehi. Argumen ini berdasarkan pada fakta bahwa pada waktu itu, Eropa mulai mempelajari Islam dan bahasa Arab. “
Beberapa akademisi berpendapat bahwa kegiatan orientalis telah ada sejak abad ke-11 Masehi. Sebagian lainnya meyakini bahwa orientalisme muncul setelah Perang Salib, yang berlangsung dari tahun 1097 sampai 1295. Ada juga yang berpendapat bahwa Orientalisme bermula di Andalusia pada abad ke-13, saat invasi Tentara Salib Spanyol ke wilayah Islam mencapai puncaknya. Selain itu, ada yang berargumen bahwa studi tentang Timur, yang kemudian dikenal sebagai Orientalisme, dimulai bersamaan dengan bangkitnya imperialisme dan kolonialisme Eropa di negara-negara Islam di 18 negara Eropa dan Timur (Wahyudin Darmalaksana, 2004).
Namun, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya orientalisme, yaitu: Pertama, Perang Salib dan imperialisme atau kolonialisme. Kedua, interaksi antara Barat dan universitas-universitas Islam. Ketiga, penerjemahan manuskrip ke dalam bahasa Latin dari berbagai disiplin ilmu. (Wahyudin Darmalaksana, 2004) Studi tentang Orientalisme memiliki karakteristik tertentu yang sangat penting untuk memahami Orientalisme itu sendiri, antara lain: Orientalisme sangat erat hubungannya dengan kolonialisme Barat, khususnya koloni Inggris dan Prancis dari akhir abad ke-13 hingga akhir Perang Dunia II. Ketika ada kolonialisme, maka ada Orientalisme. Orientalisme adalah langkah yang berkaitan erat dengan Kristen, yang mempelajari dan memahami secara mendalam tema-tema yang dapat dijadikan alat untuk mendiskreditkan citra Islam, memicu perselisihan dan kontradiksi di antara umat Muslim lainnya, serta berupaya menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam.
Tokoh-Tokoh Orientalis
Joseph Schacht
Dalam karya “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang diterbitkan pada tahun 1950 merupakan salah satu hasil karya yang terkenal dan membuat namanya dikenal luas. Dalam buku ini, ia menyimpulkan bahwa hadis Nabawi, khususnya yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah hasil karya para ilmuwan pada abad kedua dan ketiga Hijrah. Buku keduanya, “An Introduction to Islamic Law,” diterbitkan pada tahun 1960. Kedua karya tersebut mencakup analisis hadis nabawi (Muslim, 2017, hlm. 241). Seperti pendahulunya Goldziher, Schacht menilai bahwa sunnah sejatinya berasal dari tradisi dan kebiasaan nenek moyang Arab serta lebih merupakan praktik yang berkembang di kalangan masyarakat setempat atau ajaran yang muncul (Darmalaksana, 2004, hlm. 110).
Dalam catatannya, dinyatakan bahwa,“Setelah tinggal di Inggris selama delapan tahun, ia akhirnya mendapatkan kewarganegaraan Inggris pada tahun 1947. Alasan dia pindah ke Inggris adalah karena sikapnya yang menolak pemerintahan Nazi. Selain itu, Schacht juga tercatat aktif melakukan propaganda melawan Jerman. ” “Pada tahun 1932, Schacht beralih ke Universitas Kingsburg. Namun, pada 1934, meski menyadari risiko keselamatannya, ia termasuk orang yang sangat menolak rezim Nazi dan memutuskan untuk berangkat ke Kairo untuk mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo, Mesir) hingga tahun 1939. ”
Ignaz Goldziher
Pada tahun 1871-1873 ia menjabat sebagai pengajar swasta di Budapest setelah melakukan penelitian terhadap manuskrip Arab di Leiden dan Weinan. Ia juga bekerja sebagai pengajar bahasa Ibrani di Sekolah Teologi Calvinis. Berkat pengetahuannya, ia menerima beasiswa dari pemerintah Hongaria untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo, serta di Suriah dan Palestina. Kesempatan ini sangat menguntungkan baginya karena memberinya akses ke dunia Timur (Badawi, 2003). Ia berpendapat bahwa para sahabat dan tabīn memiliki kontribusi dalam pemalsuan hadis nabi. Ia menggunakan rentang waktu sebagai alasan untuk mendukung pendapatnya tersebut. (Al-Khatib, 1999, hlm. 301–299).
Tanggapan Para Tokoh Orientalis Terhadap Hadits
Tokoh-tokoh Orientalis memiliki pandangan yang beragam mengenai Islam. Mereka memperlihatkan perbedaan sudut pandang terhadap Islam, termasuk perihal hadits. Ketidakseragaman ini terkait dengan cara dan sikap mereka dalam mempelajari Islam. Secara umum, sikap mereka dapat dibagi menjadi tiga kategori: sikap netral yang muncul pada awal interaksi antara Timur dan Barat sebelum terjadinya Perang Salib; sikap yang berubah setelah Perang Salib, yang cenderung mendistorsi Islam akibat semakin menguatnya sentimen; serta sikap yang mulai menghargai Islam, yang terlihat dalam pembaruan orientalisme kontemporer yang dipandu oleh semangat perkembangan intelektual dan rasional. Meskipun demikian, pandangan mereka tidak sepenuhnya objektif.
Menurut Sa’d al-Marsaf, beberapa orientalis memiliki keraguan terhadap keberadaan dan autentisitas hadits Nabi karena mereka berpendapat bahwa pada masa awal perkembangan Islam, hadits tidak dicatat secara formal. Mereka menilai bahwa yang muncul saat itu adalah hadits-hadits, terutama pada masa Nabi dan para sahabat, bukan tradisi tertulis. Di sisi lain, saat itu, menulis apapun dari Nabi selain Al-Qur’an—meskipun ada hadits yang jelas menyatakan sebaliknya—dikenali sebagai hal yang dilarang.
Mungkin banyak hadits yang diragukan keasliannya, terutama yang berkaitan dengan hukum, yang diakui sebagai karya dari para sahabat, tabi’in, atau ulama dan ahli fikih dalam teks yang muncul di abad pertama Hijriah dan awal abad kedua. Baru setelah kumpulan hadits disusun pada abad ketiga Hijriah, sistem ini berkembang. Tujuannya adalah untuk menjadikan Islam sebagai agama yang luas dan komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan. Sebagian besar orientalis beranggapan bahwa hadits hanyalah produk dari para ulama dan ahli hukum yang berambisi menjadikan Islam sebagai agama multidimensi.
Menurut Ignaz Goldziher dengan nama aslinya Muhammad Zubayr Siddiq menyimpulkan bahwa pandangan Ignaz Goldziher terhadap hadits dapat dijelaskan sebagai berikut (Muhammad Zubayr as-siddiqi, 1993): Sebagian besar hadits disampaikan secara lisan selama satu abad, dan catatan hadits tidak merujuk pada dokumen hadits dari periode awal. Hadits yang muncul setelah periode itu jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang ada pada periode awal. Oleh karena itu, diperlukan peninjauan ulang untuk memastikan keasliannya. Jumlah hadits yang diceritakan oleh sahabat generasi muda lebih banyak dibandingkan oleh sahabat senior.
Bukti keaslian hadits tidak bisa dipastikan karena sistem isnad digunakan secara sembarangan. Banyak hadits yang bertentangan satu sama lain. Secara keseluruhan, terdapat indikasi besar bahwa pemalsuan terjadi dalam isnad, sementara kritik terhadap matan hadits kurang dibahas jika dibandingkan dengan kritik terhadap sanad.
Lalu Menurut Joseph Schacht menyampaikan pandangannya melalui teori projecting back dan argumenta e silentio, yang menunjukkan bahwa sistem isnad mulai muncul pada abad kedua atau akhir abad pertama.
Penerapan sistem isnad tidak dilakukan dengan cara yang tepat atau dilakukan secara sembarangan. Pemalsuan sistem isnad mulai meningkat pada saat itu. Namun, semua kekurangan tersebut diperbaiki pada periode klasik. Isu penolakan hadist yang berakar dari satu sumber dijawab dengan bukti yang ada di masa Al-Syafii. Istilah Family Isnadi dianggap tidak asli, termasuk semua isi yang ada di dalamnya. Keberadaan narator yang sama dalam rantai periwayatan menunjukkan bahwa hadist tersebut berasal dari periode waktu narator tersebut.
Sanggahan Para Ulama terhadap Orientalis
Usaha para orientalis untuk merusak ajaran Islam melalui hadis telah memicu banyak kritik dari para ahli hadis. Beberapa ulama kontemporer yang menanggapi teori dan kritik dari orientalis termasuk Mustafa al-Syibai, seorang guru besar di Universitas Damaskus, yang menulis buku berjudul al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam. Berikut adalah beberapa tanggapan ulama terhadap argumen para orientalis:
Ignaz Goldziher
Goldziher berpendapat bahwa hadis belum menjadi dokumen sejarah pada masa-masa awal perkembangan Islam, pendapat ini dibantah oleh sejumlah ulama hadis. Menurut mereka, teori yang diajukan Goldziher tidak kuat, baik dari segi metodologi maupun kebenaran materi sejarah yang diungkapkan. Selain itu, Goldziher mengklaim bahwa hadis yang menyarankan perjalanan ke tiga masjid adalah hasil karya al-Zuhri. Namun, Mustafa Ya’qub berargumen bahwa para pakar sejarah memiliki pandangan yang berbeda mengenai tahun kelahiran al-Zuhri, yaitu antara tahun 50 dan 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H.
Berdasarkan kesimpulan Azami, pembangunan qubbah sakhra terjadi di Mekkah saat itu, pada musim haji. Jika ditelusuri, di usia itu al-Zuhri baru berumur 10 hingga 18 tahun, sehingga sangat tidak masuk akal jika ia sudah terkenal sebagai intelektual hingga menjangkau daerah di luar tempat tinggalnya, dengan mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Yerusalem. Lagipula, ada banyak sahabat dan tabi’in di Syam yang tidak mungkin hanya diam melihat peristiwa tersebut. (Ya’qub, 2004)
Joseph Schacht
Mengenai teori pengembalian waktu yang diusulkan oleh Joseph Schacht, yang menyatakan bahwa sanad hadis terbentuk belakangan dan merupakan perkataan ulama abad kedua dan ketiga yang dinisbahkan kepada para sahabat hingga Rasulullah ﷺ, Azami membantahnya melalui penelitiannya, menegaskan bahwa sanad hadis memang bersambung sampai kepada Rasulullah. Teori Schacht yang lainnya, yaitu argumentum e silentio, juga dibantah oleh Azami.
Dalam pandangannya, Schacht berpendapat bahwa dalam kumpulan hadis-hadis selanjutnya (abad ke-2 dan ke-3 M) tidak terdapat hadis yang ada dalam kumpulan hadis-hadis awal, sehingga bisa disimpulkan bahwa hadis-hadis tersebut disusun atau ditambahkan oleh para ulama di kemudian hari. Namun, menurut Azami, ketiadaan riwayat hadis yang belakangan disusun tidak berarti riwayat tersebut tidak ada pada saat awal perkembangan hadis. Pada waktu itu, hadis-hadis yang kemudian dimuat dalam kumpulan-kumpulan selanjutnya dianggap sudah cukup terwakili oleh riwayat yang telah ada.