Di era ketika tampilan visual mendominasi hampir semua aspek kehidupan, uang bukan lagi sekadar alat transaksi. Ia menjadi bagian dari identitas, simbol keberhasilan, dan bahasa sosial yang diterjemahkan melalui barang-barang bermerek, gadget terbaru, foto-foto liburan eksklusif, serta unggahan gaya hidup yang memancarkan pesan: “Lihat, hidupku ideal.” Maka tidak mengherankan jika kepribadian Spender Besar menjadi salah satu tema psikologi keuangan yang kini kembali viral di berbagai platform digital.
Dalam perspektif behavioural finance, Spender Besar bukan sekadar “pemboros”. Mereka adalah individu yang menganggap pengalaman konsumsi sebagai bentuk penghargaan diri. Uang, bagi mereka, adalah sarana memperindah hidup, memperkuat citra diri, dan secara emosional mengisi ruang-ruang kecil dalam batin yang membutuhkan penerimaan, pujian, atau rasa pencapaian. Media sosial kemudian memperkuat kecenderungan ini dengan menghadirkan standar estetika hidup yang seolah wajib diikuti.
Bayangkan seorang pekerja muda bernama Andi (nama samaran). Ia tinggal di Pontianak, bekerja di sektor kreatif, dan memiliki penghasilan yang relatif stabil. Setiap ada smartphone terbaru, Andi hampir selalu termasuk pembeli pertama. Ketika brand fashion merilis koleksi baru, ia merasa perlu memilikinya. Ketika café viral muncul dan ramai di TikTok, Andi hadir di sana seakan-akan itu adalah bagian dari rutinitas hidup modernnya.
Andi bukan pribadi yang tidak bertanggung jawab. Disiplin kerjanya baik. Namun gaya belanjanya lebih didorong oleh emosi dan kebutuhan sosial dibanding kebutuhan nyata. Ia ingin diakui. Ia ingin terlihat berhasil. Ia ingin menikmati hidup sebagai imbalan atas kerja kerasnya. Sayangnya, ketika muncul kebutuhan mendadak seperti perbaikan kendaraan atau keperluan keluarga, ia sering kewalahan. Tabungannya tipis, dana daruratnya tidak stabil, dan ruang finansialnya sempit.
Kepribadian Spender Besar biasanya digerakkan oleh dorongan psikologis yang tidak selalu disadari. Ada keinginan untuk tetap relevan secara sosial. Ada kebutuhan untuk merayakan pencapaian. Ada rasa lelah yang ingin ditebus dengan barang atau pengalaman menyenangkan. Dan semuanya terasa logis—sampai akhirnya seseorang harus menghadapi konsekuensi finansialnya.
Behavioural finance menunjukkan bahwa manusia tidak selalu membuat keputusan berdasarkan perhitungan rasional. Banyak keputusan diambil dari emosi. Dalam kasus Spender Besar, keputusan membeli sering muncul dari dorongan seketika yang memicu rasa puas atau tenang. Dampaknya, gaya hidup menjadi semakin mahal, standar konsumsi meningkat, dan tekanan finansial pun membayangi.
Mengatasi pola Spender Besar bukan berarti berhenti menikmati hidup. Justru, kepribadian ini dapat diarahkan menjadi kekuatan positif ketika dikendalikan dengan baik. Langkah pertama adalah kesadaran—mengakui bahwa sebagian besar keputusan belanja dipengaruhi emosi, bukan kebutuhan nyata.
Setelah itu, memberi jeda sebelum membeli barang mahal dapat membantu meredam impuls. Menunggu 24 hingga 48 jam membuka ruang bagi logika bekerja. Membangun dana darurat dan menetapkan investasi otomatis juga sangat penting. Ketika penghasilan untuk masa depan disisihkan lebih dulu, ruang konsumsi spontan otomatis mengecil tanpa harus menghilang sepenuhnya.
Pada akhirnya, menjadi seorang Spender Besar bukan sebuah kekurangan. Ini hanya satu dari banyak tipe kepribadian finansial dalam diri manusia. Yang paling penting adalah bagaimana seseorang mengelola kecenderungan itu agar tidak menjadi beban.
Uang adalah cermin diri—ia memantulkan apa yang kita rasa, kita inginkan, dan kita takutkan. Di tengah tekanan gaya hidup yang terus meningkat, kemampuan memahami diri sendiri adalah langkah utama menuju kebebasan finansial yang sebenarnya.

























