Menyeduh Asa di Ketinggian Bandung: Kisah Para Petani Kopi Milenial yang Menembus Pasar Dunia
Di tengah udara sejuk pegunungan Bandung, sekelompok anak muda justru tengah bergelut dengan panasnya mesin sangrai dan teriknya matahari. Mereka bukanlah pencari kerja yang hijrah ke kota, melainkan para “pahlawan” kopi milenial yang memilih kembali ke desa untuk merawat warisan keluarga: kebun kopi. Kisah mereka adalah cerminan semangat baru di dunia pertanian, di mana tradisi berpadu dengan inovasi untuk membawa nama Kopi Priangan hingga ke panggung dunia.
Salah satunya adalah Adi Santoso (29), seorang sarjana desain komunikasi visual yang kini mendedikasikan hidupnya di kebun kopi seluas dua hektar di kawasan Pangalengan. Lima tahun lalu, ia meninggalkan hiruk pikuk Jakarta untuk mengambil alih kebun yang nyaris tak terurus milik kakeknya.
“Awalnya banyak yang mencibir,” kenang Adi sambil menyeruput kopi honey process hasil panennya sendiri. “Sarjana kok pulangnya jadi petani? Tapi saya melihat ada emas terpendam di sini. Kopi dari tanah ini punya karakter yang unik, kenapa tidak kita kelola dengan lebih serius?”
Adi tidak sendiri. Ia bersama beberapa pemuda lainnya membentuk sebuah kolektif bernama “Kopi Jabar Hebat”. Mereka saling berbagi ilmu, mulai dari teknik penanaman organik, metode pascapanen yang beragam seperti natural, honey, dan full washed, hingga strategi pemasaran digital.
Bagi mereka, media sosial bukan lagi sekadar ajang pamer, melainkan etalase utama. Melalui akun Instagram kolektif, mereka tidak hanya menjual biji kopi, tetapi juga “menjual” cerita di baliknya. Setiap unggahan berisi narasi tentang proses dari hulu ke hilir, potret para petani yang tersenyum, hingga pemandangan kebun yang memanjakan mata.
“Kami ingin konsumen tahu bahwa secangkir kopi yang mereka nikmati itu punya cerita panjang. Ada keringat dan harapan para petani di dalamnya,” ujar Rina Amelia (27), anggota kolektif yang bertanggung jawab atas pemasaran. “Pendekatan ini ternyata berhasil. Konsumen tidak hanya membeli produk, tapi juga merasa terhubung dengan kami.”
Hasilnya pun mulai terlihat. Jika dulu para petani di desanya hanya bisa menjual ceri kopi dengan harga murah ke tengkulak, kini Adi dan kawan-kawannya mampu menjual green bean (biji kopi mentah) dan roasted bean (biji sangrai) dengan harga tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi. Pembelinya pun tak lagi sebatas kafe-kafe lokal di Bandung atau Jakarta. Beberapa bulan lalu, mereka berhasil mengekspor 500 kilogram biji kopi arabika ke sebuah roastery di Melbourne, Australia.
Tentu, jalan mereka tidak selamanya mulus. Perubahan iklim yang tak menentu menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun, semangat mereka tak pernah surut. Inovasi terus dilakukan, seperti membuat sistem irigasi tetes untuk menghemat air dan menanam pohon penaung untuk menjaga ekosistem kebun.
Kisah para petani kopi milenial di Bandung ini adalah bukti nyata bahwa pertanian bisa menjadi profesi yang menjanjikan dan keren. Mereka telah membuktikan bahwa dengan sentuhan kreativitas, teknologi, dan semangat kolaborasi, secangkir kopi lokal tidak hanya mampu menghidupi sebuah keluarga, tetapi juga bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah global. Secangkir harapan yang diseduh dari ketinggian Priangan.
“Disclaimer: Tulisan ini merupakan karya berita khas (feature) fiksi yang dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Reportase dan Penulisan Naskah, Program Studi Komunikasi PJJ, Universitas Siber Asia.”