Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk berkembang, bermain, belajar, dan menemukan jati diri. Namun kenyataannya, bagi sebagian siswa di Indonesia, sekolah justru menjadi tempat yang paling menakutkan. Bukan karena tugas yang menumpuk, ulangan mendadak, atau rasa gugup ketika ditunjuk guru untuk maju ke depan kelas, melainkan karena sesuatu yang sering kali di anggap remeh : bullying.Fenomena ini bukan lagi hal asing dan masih terus terjadi hingga saat ini
Situasi inilah yang sering di hadapi oleh sebagian siswa, berakhirnya jam pelajaran bukan lagi menjadi momen yang melegakan. Justru di saat itulah rasa cemas mulai muncul. Mereka memilih menghindari kerumunan, lapangan, lorong kelas, dan sudut-sudut tertentu di sekolah karena takut bertemu dengan seseorang atau sekelompok siswa yang sering mengintimidasi. Ada pula yang hidup dalam ketakutan karena terus diejek hanya karena dianggap berbeda dari yang lain.
Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit orang dewasa yang memandang peristiwa ini sekadar sebagai “kenakalan remaja” yang dianggap akan hilang dengan sendirinya seiring waktu.
Bullying Itu Nyata, dan Tidak Pernah Sederhana
Bullying tidak selalu berbentuk tindakan fisik seperti memukul atau mendorong. Justru, bentuk yang paling sering terjadi sering kali tidak disadari oleh guru dan orang-orang di sekitar, karena tampil dalam wujud yang lebih halus dan tersembunyi. Beberapa di antaranya meliputi:
• Pemberian julukan yang merendahkan dan menyakitkan
• Ejekan yang menyinggung fisik atau cara seseorang berbicara
• Pengucilan dari kelompok pertemanan atau lingkungan sosial
• Sikap mengabaikan saat seseorang sedang berbicara
• Tidak dilibatkan dalam kegiatan tertentu
• Perilaku menghindar yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang
• Penyebaran foto atau video yang dijadikan bahan lelucon di media sosial
Perilaku-perilaku tersebut sering kali diselubungi oleh kalimat yang terdengar ringan, seperti, “Cuma bercanda.” Padahal, tidak semua anak memiliki ketahanan mental yang sama. Ada yang memilih diam dan menyimpan perasaan terluka sendirian, ada yang menutupi rasa sakitnya dengan senyuman, dan ada pula yang mulai merasa dirinya tidak berharga karena perkataan orang lain.
Dari sinilah berbagai masalah bermula. Rasa percaya diri menurun, keberanian untuk tampil menghilang, bahkan semangat untuk belajar perlahan ikut memudar. Jika seorang anak tidak lagi merasa aman di lingkungan seharusnya menjadi tempatnya bertumbuh, maka kualitas pembelajaran pun akan ikut terancam.
Ketika Bullying Menggerus Konsentrasi dan Kualitas Belajar
Berdasarkan temuan UNESCO tahun 2019, praktik perundungan di lingkungan sekolah masih terjadi dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Sekitar sepertiga siswa dilaporkan pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebayanya, bahkan sebagian di antaranya juga mengalami kekerasan fisik.
Mereka yang menjadi korban umumnya mengalami perubahan perilaku yang cukup jelas. Sebagian menjadi lebih pendiam, kehilangan kepercayaan diri, kesulitan untuk berkonsentrasi, serta mengalami penurunan prestasi akademik. Kondisi itu bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan, tetapi karena energi dan pikirannya lebih banyak terkuras untuk menghadapi tekanan dan rasa takut yang terus menghantui.
Di dalam pemikiran mereka, bukan lagi pelajaran yang menjadi prioritas, melainkan satu pertanyaan sederhana: bagaimana cara menjalani hari tanpa kembali dipermalukan, dicemooh, atau disakiti.
Mustahil bagi seorang siswa untuk benar-benar fokus pada pelajaran apabila rasa cemas selalu hadir dalam setiap langkahnya. Pada titik inilah, bullying tidak lagi dapat dianggap sebagai persoalan sepele antar teman. Ia telah beralih menjadi ancaman nyata terhadap kualitas proses pembelajaran di sekolah. Lingkungan yang tidak aman hanya akan melahirkan kegelisahan, bukan perkembangan.
Era Digital: Bullying 24 Jam Tanpa Henti
Situasi menjadi semakin rumit di era digital. Jika dahulu rumah menjadi tempat paling aman setelah pulang sekolah, kini berbagai bentuk ejekan, hinaan, dan sindiran dapat dengan mudah menjangkau anak-anak melalui layar ponsel mereka. Media sosial seolah tidak pernah tidur, dan perundungan pun berlangsung tanpa jeda, bahkan hingga larut malam.
Bentuk-bentuk perundungan di dunia maya itu beragam, di antaranya:
• Wajah seseorang dijadikan bahan meme atau stiker tanpa izin
• Potongan video disebarkan untuk mempermalukan
• Grup percakapan diisi dengan ejekan dan hinaan
• Kolom komentar dipenuhi kata-kata menyakitkan yang datang bertubi-tubi
Dampak dari tindakan ini tidak hanya terlihat dari merosotnya nilai akademik, tetapi juga dari kondisi psikologis korban yang semakin rapuh. Kecemasan berkepanjangan, stres berat, depresi, hingga munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup dapat timbul akibat perlakuan yang oleh pelaku sering kali dianggap sebagai “sekadar candaan”.
Ironisnya, di saat yang sama, sekolah masih terus berpacu dengan tuntutan kurikulum, target prestasi, dan capaian nilai. Sementara itu, ada siswa yang setiap harinya harus berjuang melawan luka batin hanya untuk sekadar bertahan di bangku sekolah.
Ketika lingkungan ikut diam
Bullying sering kali tumbuh besar bukan hanya karena pelakunya, tetapi juga karena lingkungan yang memilih untuk bungkam. Situasi yang seharusnya bisa dihentikan sejak awal justru dibiarkan seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang wajar.
Tidak jarang, guru yang mengetahui kejadian tersebut memilih untuk tidak bertindak. Teman-teman di sekitar malah menjadikannya bahan candaan tanpa menyadari bahwa di balik tawa itu ada luka yang perlahan terbentuk. Sementara itu, orang tua terlalu sibuk mengejar prestasi akademik hingga lupa menanyakan hal paling sederhana, “Bagaimana keadaanmu di sekolah hari ini?”
Di ruang kelas, kita diajarkan tentang empati, toleransi, dan rasa saling menghargai. Namun dalam praktiknya, nilai-nilai itu sering kali dikalahkan oleh kebiasaan mengejek, menghina, dan mengucilkan orang lain—hal yang awalnya dianggap sepele, tetapi perlahan berubah menjadi luka yang mendalam bagi korbannya.
Lalu, Harus Mulai dari Mana?
Upaya menghentikan bullying tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Ini adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan keterlibatan seluruh unsur di lingkungan pendidikan.
• Sekolah perlu mengambil langkah tegas dengan:
1. Memberikan edukasi rutin mengenai bahaya dan dampak bullying.
2. Menyusun aturan yang jelas terkait larangan perundungan dalam bentuk apa pun.
3. Menetapkan konsekuensi yang adil bagi pelaku.
4. Membangun komunikasi yang terbuka antara guru, orang tua, dan siswa dalam menangani kasus-kasus perundungan.
• Guru memegang peran penting dengan:
1. Menanamkan nilai anti-perundungan sejak dini.
2. Menciptakan suasana kelas yang aman, nyaman, dan inklusif.
3. Mengajarkan pentingnya empati, saling menghargai, serta cara berkomunikasi yang sehat.
4. Mengawasi dinamika relasi antar siswa, baik di dalam maupun di luar kelas.
5. Mengenalkan ciri-ciri perundungan agar mudah dikenali.
6. Mengajak orang tua terlibat aktif dalam pemantauan perilaku anak.
• Siswa pun memiliki tanggung jawab untuk:
1. Berani berkata tidak pada tindakan perundungan.
2. Memihak kepada korban, bukan menertawakan atau membiarkannya sendirian.
3. Menyadari bahwa sikap diam dapat memperpanjang terjadinya kekerasan.
• Orang tua diharapkan:
1. Menjadi pendengar yang baik agar anak merasa aman untuk bercerita.
2. Mengajarkan etika dalam berinteraksi, termasuk di dunia digital.
3. Mengawasi aktivitas anak di media sosial.
4. Menumbuhkan nilai empati dan toleransi di dalam keluarga.
5. Terlibat dalam kegiatan sekolah dan kehidupan sosial anak.
Semua perubahan besar selalu berawal dari langkah kecil: menumbuhkan kembali rasa saling menghargai dan memanusiakan sesama.
Sekolah Seharusnya Menjadi Tempat untuk Bertumbuh, Bukan Bertahan
Mutu pendidikan tidak hanya dinilai dari angka di rapor, bangunan yang megah, atau deretan piala kejuaraan. Lebih dari itu, kualitas pendidikan tercermin dari satu hal mendasar: apakah siswa merasa aman dan bahagia saat berada di sekolah.
Pengetahuan tidak akan pernah berkembang di ruang yang dipenuhi rasa takut. Sementara itu, mimpi-mimpi anak akan mudah runtuh jika setiap hari mereka dihadapkan pada kata-kata yang menyakitkan. Dan masa depan tidak akan mampu tumbuh dengan sehat apabila generasi muda dibesarkan dalam luka yang dibiarkan begitu saja.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti hanya mengukur kepintaran anak dari angka dan peringkat. Lebih penting dari itu adalah memastikan mereka merasa aman, dihargai, dan bahagia saat belajar.
Karena pada akhirnya, pendidikan sejati tidak hanya membentuk anak menjadi cerdas, tetapi juga menjadi manusia seutuhnya.
























