Pergeseran Paradigma di Halaman Belakang Amerika
Sebagai mahasiswa yang mengamati dinamika politik Amerika Latin, apa yang terjadi di Karibia pada akhir tahun 2025 ini terasa seperti menonton bab buku teks sejarah yang sedang ditulis secara real-time. Kita tidak lagi berbicara tentang operasi polisi menangkap penyelundup; kita sedang melihat pergeseran fundamental doktrin keamanan Amerika Serikat.
Di bawah pemerintahan Presiden Trump, AS telah meluncurkan “Operation Southern Spear”. Ini bukan sekadar peningkatan patroli pantai. Dengan kehadiran kapal induk USS Gerald R. Ford dan ribuan personel militer di wilayah Komando Selatan (SOUTHCOM), Washington secara efektif mengubah narasi dari penegakan hukum kriminal menjadi operasi militer penuh. Pertanyaan besarnya adalah: Apakah ini benar-benar tentang narkoba, atau ini adalah regime change yang dibungkus ulang?
1. Narkoterorisme: Redefinisi Musuh
Langkah hukum paling signifikan—dan kontroversial—tahun ini adalah keputusan AS untuk tidak lagi memperlakukan kartel narkoba sebagai organisasi kriminal biasa, melainkan sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO).
Pada November 2025, Departemen Luar Negeri AS secara resmi menunjuk Cartel de los Soles (Kartel Matahari) sebagai FTO. Yang membuat ini rumit secara diplomatis adalah definisi AS tentang kartel ini: mereka menganggapnya dipimpin langsung oleh Presiden Nicolás Maduro dan petinggi militer Venezuela.
- Implikasi Analitis: Dengan melabeli struktur negara (presiden dan jenderal) sebagai “teroris”, AS menciptakan landasan hukum untuk menyerang aset negara Venezuela tanpa perlu deklarasi perang formal antar-negara. Ini adalah taktik “lawfare” (peperangan hukum) yang sangat agresif.
Reaksi Caracas tentu saja keras. Maduro menyebut tuduhan ini sebagai “fabrikasi konyol” dan mobilisasi untuk intervensi ilegal. Namun, bagi Washington, label ini melegitimasi penggunaan kekuatan militer mematikan yang biasanya dilarang dalam penegakan hukum sipil.
2. Kontroversi Hukum Humaniter: Kasus “Double-Tap”
Salah satu aspek paling meresahkan yang sedang ramai didiskusikan di kelas-kelas hukum internasional adalah laporan mengenai aturan pelibatan (Rules of Engagement) yang baru. Sejak September, serangan AS terhadap kapal-kapal yang diduga membawa narkoba telah menewaskan lebih dari 80 orang.
Isu ini memuncak ketika muncul tuduhan bahwa militer AS melakukan serangan kedua (double-tap) terhadap penyintas yang berpegangan pada puing-puing kapal setelah serangan pertama.
- Perspektif Hukum: Pakar hukum perang seperti Michael Schmitt berpendapat bahwa menyerang kombatan yang sudah hors de combat (tidak berdaya) adalah pelanggaran jelas terhadap Hukum Humaniter Internasional, bahkan berpotensi dianggap kejahatan perang.
- Pembelaan AS: Gedung Putih bersikeras bahwa laksamana yang bertugas bertindak dalam wewenangnya untuk “menghilangkan ancaman” sesuai hukum konflik bersenjata.
Ini menciptakan preseden berbahaya. Jika “perang melawan narkoba” kini mengikuti hukum perang (law of armed conflict), apakah berarti seluruh Karibia adalah zona tempur aktif?
3. Kebangkitan Hukum Kuno: Alien Enemies Act 1798
Di dalam negeri AS, kita melihat penggunaan instrumen hukum yang sangat tua: Alien Enemies Act tahun 1798. Undang-undang ini, yang dulunya digunakan saat perang, kini dipakai untuk menahan dan mendeportasi warga Venezuela yang diduga anggota geng Tren de Aragua tanpa proses pengadilan biasa.
Mahkamah Agung AS, dalam kasus Trump v. J.G.G., baru-baru ini memutuskan bahwa gugatan terhadap kebijakan ini harus dilakukan di distrik tempat penahanan (Texas), yang secara teknis mempersulit upaya hukum para tahanan. Bagi pengamat HAM, ini adalah erosi serius terhadap due process, di mana eksekutif memiliki kekuasaan hampir absolut dalam menentukan siapa “musuh” di masa damai.
4. Reaksi Global: Dunia Terbelah
Eskalasi ini tidak terjadi di ruang hampa. Reaksi internasional menunjukkan betapa terpolarisasinya dunia saat ini:
- Rusia & China: Moskow tidak tinggal diam. Laporan intelijen mengindikasikan pendaratan pesawat kargo militer Rusia di Venezuela, membawa peralatan pertahanan untuk merespons ancaman AS. China, sementara itu, terus menjadi pembeli utama minyak Venezuela di pasar gelap, menjaga ekonomi Maduro tetap berdenyut meski ada sanksi.
- Uni Eropa (UE): Posisi UE terlihat canggung. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Kaja Kallas, menekankan bahwa penggunaan kekuatan harus sesuai Piagam PBB, sebuah kritik halus terhadap unilateralisme AS. Namun, UE tampak tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menghentikan eskalasi ini.
- CARICOM (Karibia): Organisasi regional ini terpecah. Sementara sebagian besar negara ingin mempertahankan Karibia sebagai “Zona Damai”, negara seperti Republik Dominika justru memberikan akses pangkalan militer kepada AS, memicu ketegangan dengan tetangganya.
5. Dampak Ekonomi: Minyak dan Ketidakpastian
Pasar energi bereaksi dengan gugup. Harga minyak mentah (WTI) bergerak di kisaran $59 per barel, namun ada kekhawatiran nyata tentang “premi perang” jika selat Karibia tertutup. Chevron, perusahaan minyak raksasa AS, kini beroperasi di bawah lisensi yang sangat terbatas—hanya diperbolehkan melakukan pemeliharaan aset tanpa menyetor royalti ke rezim Maduro—sebuah strategi untuk mencekik pendapatan Caracas tanpa menghancurkan infrastruktur masa depan.
Kesimpulan: Di Ambang Batas
Situasi di Venezuela pada Desember 2025 ini mengajarkan kita bahwa batas antara “penegakan hukum” dan “perang” semakin kabur. Dengan menutup ruang udara Venezuela secara sepihak dan memobilisasi armada tempur, AS sedang menguji seberapa jauh doktrin preemptive strike bisa diterapkan pada aktor non-negara.
Bagi kita mahasiswa hubungan internasional, krisis ini adalah studi kasus sempurna tentang bagaimana hukum domestik (FTO, Alien Enemies Act) dapat dipersenjatai untuk tujuan kebijakan luar negeri yang agresif. Risiko terbesar saat ini adalah salah perhitungan (miscalculation): satu insiden kecil di laut bisa memicu konflik terbuka yang menyeret kekuatan besar lainnya.

























