Pelataran, (29/10/2025), Jakarta – Di tengah riuhnya kontestasi politik yang semakin hari semakin terasa seperti drama murahan—penuh gimik, penuh tipu daya, penuh kebohongan yang sudah basi—muncul suara berbeda yang justru datang bukan dari podium parlemen atau ruang debat formal. Suara itu lahir dalam bentuk bait-bait puisi. Nama adalah Rifky MRK.
Ia bukan politikus, bukan juru kampanye, apalagi buzzer bayaran. Ia hanyalah seorang penulis muda yang memilih jalan berbeda: menggunakan bahasa sastra untuk menampar wajah kekuasaan, sekaligus menggugah generasi muda yang mulai bosan jadi korban. Di akun Instagram-nya, Rifky dengan berani menyorot satu highlight bertajuk “2045 GELAP” — sebuah judul yang seakan meludahi retorika manis para elit yang kerap menjanjikan “Indonesia Emas 2045”.
Pertanyaannya: emas untuk siapa? Apakah emas untuk rakyat yang tiap hari berbaris antre minyak goreng, berjuang dengan harga beras yang melambung, dan terhimpit utang pendidikan? Atau emas untuk segelintir elit yang tak pernah kenyang, yang sibuk mewariskan kursi dan menurunkan kekuasaan layaknya harta keluarga? Rifky memilih untuk menjawabnya lewat puisi. Sarkas, getir, sekaligus reflektif. Dalam bait-baitnya, tergambar keresahan anak muda yang melihat negara ini berjalan seperti kapal tua yang bocor di sana-sini, namun nakhodanya justru sibuk berdebat soal siapa yang berhak duduk di kursi kapten.
Puisi yang Menyentil, Bukan Menyanjung Sejak 2019, Rifky MRK sudah menulis ratusan puisi. Tema yang ia angkat bukan sekadar soal cinta picisan atau patah hati remaja. Ia menulis tentang politik yang busuk, tentang agama yang dijadikan komoditas, tentang generasi muda yang dipaksa menonton sandiwara kekuasaan sambil terus membayar tiket lewat pajak dan keringat.
Karya-karya itu ia rangkum di berbagai platform independen dan citizen journalism, serta dipamerkan di media sosial. Dan yang paling menarik, ia tak ragu menabrak narasi besar yang sedang dijual penguasa: “Indonesia Emas 2045”. Rifky justru menulis “2045 GELAP”. Sebuah pernyataan yang tidak hanya kritis, tapi juga sarkastik. Seolah ia ingin berkata: Bagaimana mungkin kalian menjanjikan cahaya emas, sementara lampu hari ini saja sudah padam?
Puisi-puisi Rifky juga menyentuh isu yang sering kali ditutup rapat atau dibungkus manis: hubungan antaragama. Dalam tulisannya, ada nada peringatan tentang betapa rapuhnya persaudaraan ketika agama dijadikan senjata politik. Ia menyingkap kenyataan bahwa isu agama kerap dipakai sebagai bensin politik jangka pendek, padahal dampaknya bisa jadi api yang membakar bangsa ini di masa depan. Ironisnya, ketika suara-suara seperti Rifky mencoba menyuarakan keprihatinan, para elit justru lebih sibuk mempertontonkan drama “politik akur” di depan kamera, sementara di belakang layar sibuk menyusun strategi pecah belah.
Sebagian orang mungkin akan meremehkan: “Ah, apa gunanya puisi? Itu kan cuma kata-kata indah.” Tapi di situlah salahnya. Justru di saat wacana publik dibanjiri propaganda, puisi bisa menjadi alarm. Alarm yang meraung-raung di tengah malam, mengingatkan bahwa ada kebakaran di dalam rumah, meskipun penghuninya sibuk menutup telinga. Rifky tidak menawarkan solusi instan. Ia tidak sedang menjual program politik. Tapi ia menyalakan tanda bahaya. Dan bagi generasi muda yang sudah terlalu lama dijejali kebohongan, tanda bahaya itu jauh lebih penting daripada janji palsu yang terus berulang. Fenomena Rifky MRK menunjukkan ironi besar negeri ini. Anak muda lewat puisi bisa bicara jauh lebih jernih tentang masa depan bangsa, sementara para elit yang digaji miliaran justru sibuk bersandiwara.
Jika “2045 GELAP” terdengar lebih masuk akal daripada “Indonesia Emas 2045”, bukankah itu berarti generasi muda sudah kehilangan kepercayaan pada narasi penguasa? Rifky MRK, lewat puisi-puisinya, seakan sedang menertawakan kenyataan pahit: bahwa bangsa ini terjebak dalam lingkaran elit yang tak pernah selesai rebutan kursi, sementara rakyat terus menjadi alas kaki. Dan sorotan “2045 GELAP” itu bukan sekadar kumpulan puisi, tapi juga simbol: simbol bahwa generasi muda tidak lagi mau dibohongi, tidak lagi mau ditinju janji manis, dan tidak lagi takut menyuarakan keresahan.
Sebab jika politikus terus sibuk menebar mimpi, sementara kenyataan semakin gelap, maka jangan salahkan jika anak muda memilih untuk menulis puisi yang menyakitkan daripada mendengar pidato yang memuakkan.